Sabtu, 29 Oktober 2011

Sumpah Pemuda: Sejarah dan Semangat Pemuda

Masa depan bangsa terletak pada pundak pemuda. Demikian semboyan klasik yang selalu hangat, diucapkan oleh siapa saja yang mencurahkan segala harapannya kepada generasi muda untuk meneruskan estafet tanggung jawab akan nilai-nilai perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita nasional. Sumpah pemuda merupakan satu tonggak sejarah yang sangat monumental. Ia mengandung ilham kepatriotan dan kepahlawanan. Ia merupakan puncak dari kebangkita nasional yang bermula pada lahirnya Budi Utomo dua puluh tahun sebelumnya. Memang tepat dikatakan bahwa sumpah pemuda itu telah meletakkan suatu kerangka dasar perjuangan politik generasi muda pada waktu itu. Dan Sumpah Pemuda itu sendiri lahir di tengah perjuangan bangsa melawan penjajahan. Tetapi akar dan bibit-bibit sampai terumuskannya Sumpah pemuda itu sendiri bukanlah tiba-tiba atau bukanlah lahir pada tahun 1928. Jauh sebelumnnya, yakni pada kongres pemuda indonesia yang pertama (30 April 1926). Dalam kongres pertama itu Moh. Yamin dicanangkan suatu ikrar pemuda Indonesia yang berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu. Yang dikatakan oleh Moh. Yamin itu bukanlah mengenai bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu. Adapun bunyi teks yang muncul dalam kongres pemuda indonesiaI adalah sbb:

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu[1].

Usul dan rumusan yang diajukan Moh. Yamin dalam sidang atau kongres pemuda pertama menjadi bahan berdebatan yang sengit antara Moh. Yamin dan Moh. Tabrani, pemimpin kongres. Perdebatan itu berkisar pada soal bahasa. Tabrani, sebagai ketua kongres tidak menyetujui kalau bahasa persatuan disebut bahasa Melayu. Ia berpendapat bahasa persatuan haruslah bahasa Indonesia. Sedangkan Moh. Yamin tetap bersikeras bahwa bahasa persatuan itu tak lain adalah bahasa Melayu, sebab yang ada bahasa Melayu. Tabrani didukung oleh Sanusi Pane; sedangkan Moh. Yamin didukung oleh jamaluddin. Kutipan diskusi yang dilontarkan Tabrani antara lain mengatakan,”...jalan pikiran saya: kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Melayu”. Yamin naik pitam dengan alasan, “Tabrani menyetujui pidato saya, tetapi kenapa menolak konsep usul resolusi saya. Lagi pula yang ada bahasa Melayu, sedangkan bahasa Indonesia. Tabrani tukang ngelamun”. Tanggapan Tabrani, “Alasanmu, Yamin, betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya. Namun saya tetap pada pendirian saya. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui kongres pemuda pertama ini[2]

Dalam kongres pemuda Indonesia yang kedua, pendapat Tabrani dan Sanusi Pane benar-benar diperhatikan. Dengan demikian ikrar pemuda Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda, mencantumkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuannya[3]. Dengan demikian Sumpah Pemuda yang berintikan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa kemdian selalu menggelora di dada pemuda-pemudi, bahkan di dada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Demikianlah betapa pun kaum Penjajah Belanda berusaha menghambat serta menghalang-halangi serta menggagalkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia, namun berkat rahmat Allah dan berkat keuletan serta kegigihan para Pahlawan[4] Indonesia, akhirnya persatuan dan kesatuan nasional Indonesia kebangsaan Indonesia dapat tercapai dan terwujud juga. Maka tibalah saatnya orang-orang Belanda kolonial, ibarat sang induk Ayam di dalam dongeng hewan atau fabel, dengan sangat terkejut melihat bahwa anak itik yang keluar dari telur yang di eramnya telah turun ke air dan dapat berenang sendiri!

Generasi muda angkatan 28 telah menunjukan betapa mereka sangat gemilang dalam membangun bangsa Indonesia dengan berani merumuskan Sumpah Pemuda dan Perjuangan bangsa. Semangat para pemuda pada zaman itu benar-benar tanpa pamrih. Mereka berjuang demi negara, demi rakyat banyak, dan bukannya demi mereka sendiri dan keluarga mereka. Tokoh panutan yang mempunyai jiwa demikian ini sangat dibutuhkan pada zaman ini. Tokoh-tokoh pemuda zaman ini hampir tidak berperan dalam panggung sejarah. Seolah dunia sekarang ini dikuasai oleh kaum tua. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Rupanya kaum tua kurang melihat potensi yang ada dalam generasi muda. Kalau demikian perlulah melihat orang melihat ke belakang, ke tahun 1928: dalam tahun itulah peranan pemuda memainkan peranan yang sentral, tiada bandingnya, pemuda zaman sekarang?[5]



[1] Kutipan menggunakan ejaan yang sudah disempurnakan: teks asli masih menggunakan ejaan lama.

[2] M. Tabrani, ‘Sejarah satu Nusa, satu Bangsa, satu Bahasa Indonesia’, dalam G A Warmansyah, Cerita Tentang Peranan Pemuda, Dinas Museum Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jakarta. 1977, hal.40.

[3] “Kami Putra-Putri Indonesia Mengaku Berbahasa satu, Bahasa Indonesia”.

[4] Seorang pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang turun ke bumi lalu memecahkan permasalahan yang ada, setelah masalah itu selelsai orang suci tersebut naik ke langit lagi. Pahlawan adalah orang biasa tetapi melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dengan mengoptimalkan seluruh daya dan potensinya demi Bangsa dan negaranya.

[5] Pemuda zaman sekarang banyak diobyekan dan kurang dijadikan subyek. Begitulah kesan-kesan yang muncul dalam berbagai diskusi gerakan pemuda sekarang ini.

Berantas korupsi!

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Korupsi merupakan sebuah masalah serius yang dihadapi oleh banyak Negara berkembang, termasuk Negara Indonesia ini. Bisa dikatakan bahwa salah satu penghambat berkembangnya sebuah Negara adalah karena permasalahan korupsi. Kaufmann (1997) yang mengatakan bahwa korupsi menyebabkan pencurian terhadap penerimaan pemerintah yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan dan pengembangan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Usaha-usaha korupsi ini menurut transparency internasional sebagai upaya menghilangkan anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan public atau mengurangi anggaran pemerintah.

Indonesia corruption watch mencatat setidaknya 10 kejanggalan dalam penanganan kasus mafia pajak ini. Kepolisian dinilai gagal sejak awal, dan bahkan diduga ada tangan tak kentara yang mendesain kasus ini agar seolah-olah terkesan ditangani secara serius dan cepat, padahal tidak. Pola pengerdilan justru potensial penjahat sesungguhnya. Perwira Polri dan jaksa belum tersentuh, birokrasi korup di Ditjen pajak belum diproses, pihak perusahaan masih melenggang bebas meski telah menyuap petugas pajak, dan 44 perusahaan yang ditangani gayus belum disentuh sama sekali. “menangkap teri, melepas paus” karena mastermind atau mafia yang lebih besar berada di zona nyaman. Masih banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, mulai dari tingkat daerah hingga level nasional, dari koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Yang menjadi tanda tanya adalah belum cukupkah energi untuk menggerakkan proses penyembuhan penyakit kronis tersebut dari bumi Indonesia? Perang melawan penyakit bangsa nomor satu ini? Hal ini antara lain dapat dilihat berdasarkan indikator skor Indonesia dalam indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) 2010 yang masih belum bergeser dari angka 2,8 persen.

Hanya ada satu kata “lawan”! korupsi perlu secara terang-terangan diperangi, sebab kalo tidak ini akan menjadi budaya yang akan menjamur di negeri kita. tentu hal ini perlu strategi dalam perang melawan korupsi, kita bisa belajar dari sejarah dengan mempelajari teori perang konvesional zaman duu. Teks-teks mengenai teori perang menyebutkan, paling tidak ada dua tipe perang, yaitu Perang bumi hangus dan perang pembantaian. Perang pembantaian mengacu pada strategi penghancuran total kemampuan berperang dalam beberapa atau bahkan dalam satu pertempuran yanmg menentukan. Strategi perang ini digunakan Napoleon Bonaparte dalam pertempuran Austerlitz (1805) melawan pasukan koalisi kerajaan Rusia dan Australia. Pertempuran Austerlitz secara efektif menghancurkan perlawanan Negara-negara Eropa terhadap kekuatan kerajaan Perancis. Dalam perang melawan korupsi, strategi perang pembantaian bisa diaplikasikan dalam bentuk penyelesaian secara cepat dan tegas kasus-kasus korupsi besar, penangkapan koruptor kelas kakap dan berpengaruh dan pemberian hukuman maksimal kepada koruptor.

Perang bumi hangus adalah strategi perang yang bertujuan menghancurkan kemapuan bertempur lawan lewat perang yang berkepanjangan dan penghancuran sumber daya logistik dan personel. Ketika kerajaan Roamwi diinvasi pasukan Carthage dibawah pimpinan Hannibal Barca dalam perang Phunic II (218-202 SM) Konsul Fabius menggunakan Strategi Bumi hangus. Ia menghancurkan jalur suplai makanan dan bantuan personel dengan membakar desa-desa dan ladang gandum yang akan dilewati pasukan Carthage. Strategi Fabius ternyata efektif memaksa pasukan Carthage mundur. Dalam perang melawan korupsi, strategi bumi hangus dapat diaplikasikan dengan cara menutup ruang gerak koruptor dalam birokrasi melalui penerapan reformasi birokrasi, pengawasan yang efektif dan penerapan Transparansi. Strategi ini bila diterapkan secara efektif akan menutup ruang gerak dan jalur-jalur suplai uang haram koruptor.

Sudah saatnya pemerintah membuat gebrakan berani dengan membongkar kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang kuat. korupsi harus segera diberantas agar kesejahteraan negara semakin tinggi dan rakyat juga semakin sejahtera. Kita butuh pemimpin yang berani dan ahli strategi dalam memberantas korupsi.

Guru: Elemen yang terlupakan Oleh: Azwan Nurkholis

Setiap kita menginginkan pendidikan yang mampu menghasilkan insan yang paripurna. Hal ini tidak terlepas dari tujuan pendidikan nasional yaitu Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tentunya hal ini menjadi tugas yang cukup berat dan ektra keras dalam merealisasikannya. Betapa tidak, jika kita telusuri lebih dalam, banyak fenomena pendidikan kita yang memprihatinkan, semakin memudarnya karakter yang dimiliki oleh siswa. Banyaknya kasus narkoba, pelecehan seksual, tawuran/pertengkaran/perkelahian dan sebagainya. Wajar hal itu terjadi, jika kita melihat kondisi saat ini terjadinya dis orientasi arah dan proses pendidikan. Institusi pendidikan kita tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Ini berarti mengulang sejarah pendidikan di zaman Belanda, bahkan sama persis.

Sudah saatnya revolusi pendidikan kita, mengembalikan pendidikan pada khitahnya. Perlunya Kembali merefleksikan pemikiran founding fathers pendidikan Ki hajar dewantara bahwa pada hakikatnya manusia merdeka adalah tujuan pendidikan. yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Hal yang paling efektif yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan kembali peran dan fungsi Lembaga pendidikan (: sekolah/PT) yang menjadi salah satu ujung tombak keberhasilan proses pendidikan. Dimulai dari hal sederhana saja, elemen yang sering kita lupakan dan kita abaikan adalah guru. Selama ini perhatian terhadap guru kurang. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Disisi lain kesejahteraan guru juga perlu diperhatikan walaupun lumayan dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.

Yang paling subtansi adalah guru dituntut untuk mengoptimalkan perannya. Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Pertama, guru sebagai pengajar harus mampu menciptakan situasi kondisi belajar yang sebaik-baiknya, serta bertanggungjawab hasil kegiatan belajar anak melalui belajar mengajar. Pengajaran bukan hanya sekedar transfer of knowledge (pengetahuan) tapi juga transfer of values (nilai). Seringkali hal ini dilupakan oleh para guru, interaksi hanya sebatas penyampaian materi tanpa mengedepankan hikmah nilai.

Kedua, guru sebagai pembimbing diharapkan bisa mengarahkan bahkan mendampingi peserta didik agar mendapatkan pemahaman maksimum. Menjadi teman terbaik untuk peserta didik dalam pemecahan masalah dan selalu memberikan motivasi yang lebih agar siswa tercerahkan. Hal ini akan terwujud manakala guru memperhatikan mulai dari yang sesederhana mungkin, mulai dari mengenal, mengamati tingkah laku siswa sehari-hari sampai dengan meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun luar sekolah.

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!

Sabtu, 22 Oktober 2011

PATREM MADAKARIPURA

1992

Di dalam rumah itu. Di atas dipan tua. Seseorang yang usianya melebihi seabad meringkuk tanpa sehelai pakaian pun. Ia hanya berselimut, terkadang ia enggan menutupi badannya yang tinggal tulang itu. Namun pendengarannya masih jelas menangkap suara jip yang berhenti di pekarangan rumahnya.

Sukmasari bersandar di pintu ketika Pramudya turun dari kendaraannya. Ada senyum mengembang menghiasi wajah ayu Sukmasari. Hampir tak berkedip Sukmasari memandangi calon suaminya itu. Ia gandeng lengannya dan masuk ke dalam rumah.

Pramudya tidak pernah absen menengok Eyang Suryo di kamarnya ketika ia baru datang. Orang tua itu selalu menimbulkan rasa penasarannya. Masih adakah orang setua itu. Rambutnya tak ada satu helai pun yang tersisa di kepalanya. Kulitnya menempel di tulang-tulangnya. Hanya saja Eyang Suryo masih kuat bicara layaknya orang yang sehat badaniyahnya. Pramudya terus memandangnya heran.

Eyang Suryo justru paham dengan Pramudya dan Sukmasari yang heran dengan keadaannya. Eyang Suryo tidak pernah berprasangka atau marah bila mereka sering memandanginya. Seperti pagi itu, Pramudya diam-diam memperhatikan kakek tua itu. Entah apa yang ada dalam pikiran Pramudya.

“Eyang,” sapa Pramudya pelan.

“Mau Anak ajak kemana Sukmasari?” tanya Eyang Suryo, seolah ia mampu membaca pikiran Pramudya.

“Hanya jalan-jalan kok Eyang. Ke pondok milik keluarga di Bogor.”

Eyang Suryo mengangguk. Namun di dalam sorot matanya mengisyaratkan nada berat. Hatinya menggantung. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Pramudya. Andaikan Pramudya telah menikah dengan sukmasari. Mungkin ia akan bisa membebaskan jiwa raganya dengan tenang.

Sebelum naik ke pelaminan, Pram ingin memberikan kenangan terindah untuk calon istrinya. Pramudya ingin mngajaknya berlibur di Pondok peninggalan ayahnya di Bogor. Eyang Suryo pun telah merestui. Sukmasari, gadis beruntung asal bandung itu, meski ia hidup sebatang kara hanya bersama Eyang Suryo namun cinta Pramudya telah memberi warna dalam hidupnya.

Sukmasari bahagia. Di dalam hatinya yang terdalam ia benar-benar mencintai Pramudya dan berharap dapat hidup langgeng dengan lelaki tampan itu dalam rumah tangga yang harmonis.

Dengan mobil jip tua mereka berangkat ke pondok.

“Sari, apa Eyang Suryo itu tidak sakit, padahal tidak makan dan tidak minum.” Suara Pramudya memecah keheningan malam itu.

“Entahlah, Kang. Kadang aku takut, tubuh Eyang semakin kurus. Badannya tinggal tulang belulang. Dulu sempat Eyang cerita kalau dirinya mempunyai pegangan yang sulit dilepaskan karena Eyang sudah tidak punya keturunan laki-laki. Mungkin hal itu yang membuat Eyang seakan tahu apa yang akan terjadi. Eyang sering mengatakan sesuatu yang terseimpan di dalam hatiku padahal aku tak mengatakannya pada Eyang. Aku sendiri bingung, kenapa tinggal aku seorang keluarganya. Semuanya mati satu persatu. Saat aku lahir Eyang sendiri sudah tua.” papar Sukmasari.

“Akang, kadang aku juga takut kalau sewaktu-waktu Eyang pergi, aku benar-benar sebatang kara.” tambah Sukmasari sedih.

Pramudya semakin erat memeluk pundak Sukmasari. Mereka memandangi langit berdua malam itu.

***

Pramudya kaget pagi itu. Ia tak menemukan Sukmasari di tempat tidurnya. Pramudya keluar mencari kekasihnya dan menemukannya pingsan di depan gerbang pondoknya.

Setelah Sukmasari sadar, ia tak ingat sesuatu pun sampai ia bisa pingsan. Keesokan harinya Pramudya mengalami kejadian yang sama. Ia menemukan kembali Sukmasari di depan gerbang. Malam ketiga Pramudya diam-diam mengikuti Sukmasari. Tengah malam, sukmasari bangun dan berjalan tanpa sadar. Awalnya Pramudya ingin mencegahnya, tetapi batinnya berkata untuk mengikuti saja kemana Sukmasari pergi.

Pramudya terus mengikuti Sukmasari hingga ke tengah hutan. Sukmasari duduk di atas batu besar dan menengadahkan wajahnya ke langit.

Suara hutan yang mencekam tak berpengaruh pada pramudya. Dia terus memperhatikan sukmasari. Hampir-hampir Pramudya muncul di hadapan Sukmasari tetapi ia tahan. Berjam-jam Sukmasari memandang langit hingga tak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya.

Sukmasari akhirnya turun dan kembali ke pondok lagi hingga ia jatuh pingsan. Pramudya yang sejak tadi mengikuti Sukmasari dari belakang segera membopongnya.

Fajar menampakkan dirinya menggeser malam yang menyimpan banyak tanda tanya di dalam jiwa Pramudya.

***

1357

Langit hitam menyelimuti kerajaan Majapahit malam itu. Begitupun dengan hati Dyah Pitaloka. Putri sunda itu tak sanggup lagi menyaksikan pertumpahan darah antara pasukan Majapahit dengan rombongan yang mengantarnya ke Kerajaan Hayam Wuruk.

Pertarungan yang merugikan Kerajaan Sunda itu telah merenggut nyawa Ayahanda tercintanya. Seluruh rombongan berdarah rata dengan tanah, tak satupun yang masih hidup.

Dyah Pitaloka berlari ke dalam Hutan. Ia terus berlari membawa jiwanya yang remuk, hancur tak terkatakan. Arya Bima yang mengetahui kepergian wanita yang dicintainya itu segera menyusul.

Langkah Dyah Pitaloka melemah. Ia tidak kuat lagi berlari.

“Nimas…!” Arya Bima hampir memegang pundaknya.

“Jangan Kau dekati diriku, Patih!” putri Dyah Pitaloka mundur.

“Jika yang Engkau inginkan adalah diriku. Inilah diriku.” Putri Dyah Pitaloka mencabut patremnya yang terselip di sanggul hingga rambutnya terurai.

“Nimas, jangan gegabah.” Arya Bima mendekat , namun Dyah pitaloka mengancam dengan patremnya.

“Jika aku yang kau inginkan, kenapa harus ada pertumpahan darah. Kenapa rakyatku harus Kau musnahkan. Kenapa ayahandaku harus Kau korbankan. Jika yang kau inginkan adalah diriku. Aku tidak sudi menjadi pendamping seorang yang haus darah, ia bukan ksatria sejati. Aku membenci dirimu Patih, aku benci Majapahit.” Dyah Pitaloka semakin mendekatkan patremnya ke dada.

“Jangan pikir aku tidak mampu melihat ambisimu untuk menggagahi negeri ini. Jika pertumpahan darah jalannya sungguh sangat disayangkan. Mempersatukan negeri ini dengan pedang dan darah pasti hanya akan menimbulkan perpecahan di antara anak cucu keturunan Majapahit nanti.”

“Aku tidak akan menjadi pengkhianat rakyatku. Lebih baik aku mati bersama mereka dari pada harus menjadi pengikut Majapahit yang telah menghancurkan kerajaanku.”

“Putri..Putri Dyah Pitaloka.” Arya Bima segera mendekati Dyah Pitaloka yang nekat menusukkan patrem ke dadanya.

Ada penyesalan di dalam hatinya. Ribuan kali ia menghadapi kematian tetapi baru kali ini jiwanya begitu lemah. Ia tidak mampu menyelamatkan orang yang telah menggantikan jiwa kerasnya dengan cinta. Patrem itu telah merenggut nyawa Putri Dyah Pitaloka.

Hati Arya Bima melemah menghadapi kenyataan bahwa Dyah Pitaloka sudah tiada. Ia pasrah dengan keputusan Raja Majapahit dengan tindakan gegabahnya yang mengakibatkan peperangan dengan kerajaan Sunda itu. Ia menyesal telah mengakibatkan kematian Dyah Pitaloka.

Di dalam gua itu ia menyesali diri. Dulu jiwanya yang garang tak terkalahkan oleh apapun kini layu oleh keindahan yang dimiliki seorang wanita. Wanita yang dulu pernah dianggapnya sebagai penghalang karirnya dalam memperjuangkan kerajaan, kini menyentuh hatinya dan menghancurkannya dengan kematian.

Ia berkali-kali menyebut nama Dyah Pitaloka untuk mengobati rasa penyesalannya. Patrem yang dulu merenggut nyawa orang yang dicintainya itu kini ia genggam erat.

Suara tetesan air di dalam gua tak mampu ia dengar. Ia hanya mendengar bisikannya sendiri, menyebut nama Dyah Pitaloka.

***

1992

Pramudya menemui Eyang Suryo. Ia menceritakan kejadian yang menimpa Sukmasari.

“Sudah kuduga. Sukmasari akan mengalaminya. Tempat itu telah mengikat jiwa Sukmasari.” tutur Eyang Suryo seolah ia telah menunggu-nunggu sekian lama.

“Air terjun itu, Eyang?” Pramudya mengingat terakhir pergi dengan Sukmasari.

“Madakaripura.aku juga telah lama tidak mengunjunginya. Tempat itu menyimpan banyak kenangan Patih Arya Bima. Ia mengenang kehidupannya di tempat itu. Termasuk Putri Dyah Pitaloka yang mengantarnya ke Madakaripura.”

“Tetapi kenapa harus Sukmasari dan apa hubungannya dengan peristiwa itu, Eyang?” tanya Pramudya penasaran.

“Sukmasari mungkin memiliki kemiripan dengan Putri Dyah Pitaloka. Wajahnya yang ayu dan tutur sapanya yang lembut membangkitkan kenangan akan Putri Dyah Pitaloka di tempat itu. Tambah lagi darah Sukmasari yang masih perawan.” Jelas Eyang Suryo.

“Ini kembalikan ke tempatnya. Ikatlah patrem ini dengan potongan rambut Sukmasari.” Eyang Suryo mengambil Patrem dari punggungnya. Benda itu hampir menyatu dengan tulang rusuknya, hanya terhalang kulit yang sangat keriput. Pegangannya itu tak pernah terpisah dari tubuhnya. Bila Eyang Suryo menjauhkan dari tubuhnya maka ia akan marasa sakit yang luar biasa.

“Kemana harus aku kembalikan, Eyang?”

“Kembalikan ke tempat pertapaan Patih Arya Bima di balik air terjun Madakaripura. Dulu patrem ini beliau tinggalkan di dalam gua tepat di atas pertapaannya.”

Pramudya memandang heran.

“Patrem ini dibawa oleh Dwupati, seorang pengikut setia Patih Arya Bima yang turut bertapa di tempat itu. Dulu patrem inilah yang digunakan Putri Dyah Pitaloka untuk menghabisi nyawanya. Ia bunuh diri karena kebenciannya kepada Majapahit yang telah merenggut segalanya dari kehidupannya.

“Eyang ini keturunan terakhir dari Dwupati. Patrem ini memilki kekuatan mengikat sukma. Sebelum diserahkan kepada orang lain, orang yang memegangnya tidak akan bisa membebaskan jiwa raganya.”

Eyang Suryo menjelaskan asal usul patrem itu, seolah tahu arti tatapan mata Pramudya.

Tanpa pikir panjang pramudya segera melaksanakan petunjuk dari Eyang Suryo. Beliau juga berpesan untuk menjaga Sukmasari selama-lamanya. Jiwa sukmasari akan terbebas setelah ia mengembalikan patrem itu ke tempat asalnya. Hanya seorang yang berjiwa ksatria yang mampu mencapai tempat itu, orang yang berhati tulus dan suci yang mampu mengemban tugas berat itu.

Memang berat jalan yang harus ditempuh Pramudya. Ia kembali menapaki gunung Bromo, menyusuri tempat di mana Pramudya dan Sukmasari pernah menikmati kemesraan berdua. Pramudya tidak pernah tahu kalau di balik air terjun itu terdapat gua. Ia masuk ke pusaran air terjun dan tertelan derasnya kumpulan air itu.

Wira menunggunya di bawah air terjun. Wira tidak yakin Pramudya akan bisa kembali hidup-hidup. Jantungnya berpacu dengan kencangnnya deburan air terjun yang jatuh dari atas. Perasaannya waswas. Ia tak tahan menunggu pram lama-lama. Tempat itu hampir dirubung gelap.

“Pramudya…Pramudya!” teriak Wira khawatir.

Suaranya tertelah air terjun yang terus menggerojok. Putus asa pun mewarnai mukanya, sudah tak sabar ia menunggu sahabatnya.

Pramudya berusaha sekuat mungkin untuk mencapai tempat tersembunyi itu. Jantungnya terus berdebar mengiringi pijakan kakinya dan gapaian tangannya untuk menemukan pintu gua. Mulut gua itu tampak kecil. Berlumut dan gelap. Dalam hatinya kenapa patih itu harus bertapa di tempat itu. Setelah memasuki gua itu barulah Pramudya terkagum-kagum. Gua itu begitu luas. Ada semacam danau kecil di dalamnya. Ada tetesan air dari bebatuan di atasnya. Lebih kagum lagi ketika ia melihat sebuah batu putih berkilau, mungkin itu yang Eyang Suryo maksud tempat pertapaan sang patih.

Segera ia lakukan apa yang diperintahkan Eyang Suryo kepadanya. Dengan jantung berdebar pula ia meninggalkan tempat itu.

Pramudya tiba-tiba muncul dari pusaran air dan berenang menuju tepi. Wira yang sedari tadi mondar-mandir menunggu terpana setengah tak percaya, namun hatinya lega dan senang. Tempat itu semakin gelap seiring matahari yang condong ke barat.

Sepanjang jalan pulang, Pramudya terus teringat dengan patrem itu. Patrem yang telah ia ikat dengan beberapa helai rambut kekasihnya itu ia letakkan di atas batu putih berkilau. Sesaat ia tinggalkan patrem itu dan hendak kembali, tapi sewaktu ia menoleh lagi patrem itu telah lenyap, tinggal rambut Sukmasari yang mengurai panjang di atas batu itu.

Madakaripura yang menyimpan banyak kenangan itu ia tinggalkan. Pramudya berharap Sukmasari dapat terlepas dari ikatan magis itu dengan jalan yang ia tempuh. Madakaripura tetap menyisakan misteri sendiri baginya. Misteri yang masih sulit ia percaya.

***

Bersamaan dengan lenyapnya patrem itu, Jiwa Eyang Suryo terbebas dari raganya yang telah berumur lebih dari seabad. Kakek tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tubuhnya tergolek di atas dipan layaknya seonggok tulang belulang yang masih utuh berbentuk manusia. Ia menutup matanya yang telah lelah, waktu yang begitu lama ia tunggu untuk beristirahat.

Sukmasari siuman dari tidur panjangnya. Ia tak sadarkan diri selama dua hari. Malam itu ketika Pramudya kembali ke pondok, Sukmasari pingsan lagi. Kemudian Pramudya mengambil beberapa helai rambut kekasihnya itu dan pergi. Ia pasrahkan sukmasari kepada Ratna, sepupunya.

Kini Sukmasari telah kembali. Jiwanya telah lepas dari ikatan magis madakaripura

Sesampainya di pondok Pramudya dan Wira langsung menjemput Ratna dan Sukmasari. Mereka keluar dari gerbang pondok seolah menghirup kehidupan baru. Lebih-lebih bagi Pramudya dan Sukmasari. Bunga-bunga asmara di hati mereka berdua tetap bermekaran dan akan menjadi awal yang indah untuk memasuki sebuah ikatan perkawinan.

Pepohonan yang menjulang tinggi yang mereka lewati memberikan lambaian dan senyumannya, membisikkan kepada angin untuk tetap setia mengiringi perjalanan mereka untuk kembali.

***

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes