1992
Di dalam rumah itu. Di atas dipan tua. Seseorang yang usianya melebihi seabad meringkuk tanpa sehelai pakaian pun. Ia hanya berselimut, terkadang ia enggan menutupi badannya yang tinggal tulang itu. Namun pendengarannya masih jelas menangkap suara jip yang berhenti di pekarangan rumahnya.
Sukmasari bersandar di pintu ketika Pramudya turun dari kendaraannya. Ada senyum mengembang menghiasi wajah ayu Sukmasari. Hampir tak berkedip Sukmasari memandangi calon suaminya itu. Ia gandeng lengannya dan masuk ke dalam rumah.
Pramudya tidak pernah absen menengok Eyang Suryo di kamarnya ketika ia baru datang. Orang tua itu selalu menimbulkan rasa penasarannya. Masih adakah orang setua itu. Rambutnya tak ada satu helai pun yang tersisa di kepalanya. Kulitnya menempel di tulang-tulangnya. Hanya saja Eyang Suryo masih kuat bicara layaknya orang yang sehat badaniyahnya. Pramudya terus memandangnya heran.
Eyang Suryo justru paham dengan Pramudya dan Sukmasari yang heran dengan keadaannya. Eyang Suryo tidak pernah berprasangka atau marah bila mereka sering memandanginya. Seperti pagi itu, Pramudya diam-diam memperhatikan kakek tua itu. Entah apa yang ada dalam pikiran Pramudya.
“Eyang,” sapa Pramudya pelan.
“Mau Anak ajak kemana Sukmasari?” tanya Eyang Suryo, seolah ia mampu membaca pikiran Pramudya.
“Hanya jalan-jalan kok Eyang. Ke pondok milik keluarga di Bogor.”
Eyang Suryo mengangguk. Namun di dalam sorot matanya mengisyaratkan nada berat. Hatinya menggantung. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada Pramudya. Andaikan Pramudya telah menikah dengan sukmasari. Mungkin ia akan bisa membebaskan jiwa raganya dengan tenang.
Sebelum naik ke pelaminan, Pram ingin memberikan kenangan terindah untuk calon istrinya. Pramudya ingin mngajaknya berlibur di Pondok peninggalan ayahnya di Bogor. Eyang Suryo pun telah merestui. Sukmasari, gadis beruntung asal bandung itu, meski ia hidup sebatang kara hanya bersama Eyang Suryo namun cinta Pramudya telah memberi warna dalam hidupnya.
Sukmasari bahagia. Di dalam hatinya yang terdalam ia benar-benar mencintai Pramudya dan berharap dapat hidup langgeng dengan lelaki tampan itu dalam rumah tangga yang harmonis.
Dengan mobil jip tua mereka berangkat ke pondok.
“Sari, apa Eyang Suryo itu tidak sakit, padahal tidak makan dan tidak minum.” Suara Pramudya memecah keheningan malam itu.
“Entahlah, Kang. Kadang aku takut, tubuh Eyang semakin kurus. Badannya tinggal tulang belulang. Dulu sempat Eyang cerita kalau dirinya mempunyai pegangan yang sulit dilepaskan karena Eyang sudah tidak punya keturunan laki-laki. Mungkin hal itu yang membuat Eyang seakan tahu apa yang akan terjadi. Eyang sering mengatakan sesuatu yang terseimpan di dalam hatiku padahal aku tak mengatakannya pada Eyang. Aku sendiri bingung, kenapa tinggal aku seorang keluarganya. Semuanya mati satu persatu. Saat aku lahir Eyang sendiri sudah tua.” papar Sukmasari.
“Akang, kadang aku juga takut kalau sewaktu-waktu Eyang pergi, aku benar-benar sebatang kara.” tambah Sukmasari sedih.
Pramudya semakin erat memeluk pundak Sukmasari. Mereka memandangi langit berdua malam itu.
***
Pramudya kaget pagi itu. Ia tak menemukan Sukmasari di tempat tidurnya. Pramudya keluar mencari kekasihnya dan menemukannya pingsan di depan gerbang pondoknya.
Setelah Sukmasari sadar, ia tak ingat sesuatu pun sampai ia bisa pingsan. Keesokan harinya Pramudya mengalami kejadian yang sama. Ia menemukan kembali Sukmasari di depan gerbang. Malam ketiga Pramudya diam-diam mengikuti Sukmasari. Tengah malam, sukmasari bangun dan berjalan tanpa sadar. Awalnya Pramudya ingin mencegahnya, tetapi batinnya berkata untuk mengikuti saja kemana Sukmasari pergi.
Pramudya terus mengikuti Sukmasari hingga ke tengah hutan. Sukmasari duduk di atas batu besar dan menengadahkan wajahnya ke langit.
Suara hutan yang mencekam tak berpengaruh pada pramudya. Dia terus memperhatikan sukmasari. Hampir-hampir Pramudya muncul di hadapan Sukmasari tetapi ia tahan. Berjam-jam Sukmasari memandang langit hingga tak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya.
Sukmasari akhirnya turun dan kembali ke pondok lagi hingga ia jatuh pingsan. Pramudya yang sejak tadi mengikuti Sukmasari dari belakang segera membopongnya.
Fajar menampakkan dirinya menggeser malam yang menyimpan banyak tanda tanya di dalam jiwa Pramudya.
***
1357
Langit hitam menyelimuti kerajaan Majapahit malam itu. Begitupun dengan hati Dyah Pitaloka. Putri sunda itu tak sanggup lagi menyaksikan pertumpahan darah antara pasukan Majapahit dengan rombongan yang mengantarnya ke Kerajaan Hayam Wuruk.
Pertarungan yang merugikan Kerajaan Sunda itu telah merenggut nyawa Ayahanda tercintanya. Seluruh rombongan berdarah rata dengan tanah, tak satupun yang masih hidup.
Dyah Pitaloka berlari ke dalam Hutan. Ia terus berlari membawa jiwanya yang remuk, hancur tak terkatakan. Arya Bima yang mengetahui kepergian wanita yang dicintainya itu segera menyusul.
Langkah Dyah Pitaloka melemah. Ia tidak kuat lagi berlari.
“Nimas…!” Arya Bima hampir memegang pundaknya.
“Jangan Kau dekati diriku, Patih!” putri Dyah Pitaloka mundur.
“Jika yang Engkau inginkan adalah diriku. Inilah diriku.” Putri Dyah Pitaloka mencabut patremnya yang terselip di sanggul hingga rambutnya terurai.
“Nimas, jangan gegabah.” Arya Bima mendekat , namun Dyah pitaloka mengancam dengan patremnya.
“Jika aku yang kau inginkan, kenapa harus ada pertumpahan darah. Kenapa rakyatku harus Kau musnahkan. Kenapa ayahandaku harus Kau korbankan. Jika yang kau inginkan adalah diriku. Aku tidak sudi menjadi pendamping seorang yang haus darah, ia bukan ksatria sejati. Aku membenci dirimu Patih, aku benci Majapahit.” Dyah Pitaloka semakin mendekatkan patremnya ke dada.
“Jangan pikir aku tidak mampu melihat ambisimu untuk menggagahi negeri ini. Jika pertumpahan darah jalannya sungguh sangat disayangkan. Mempersatukan negeri ini dengan pedang dan darah pasti hanya akan menimbulkan perpecahan di antara anak cucu keturunan Majapahit nanti.”
“Aku tidak akan menjadi pengkhianat rakyatku. Lebih baik aku mati bersama mereka dari pada harus menjadi pengikut Majapahit yang telah menghancurkan kerajaanku.”
“Putri..Putri Dyah Pitaloka.” Arya Bima segera mendekati Dyah Pitaloka yang nekat menusukkan patrem ke dadanya.
Ada penyesalan di dalam hatinya. Ribuan kali ia menghadapi kematian tetapi baru kali ini jiwanya begitu lemah. Ia tidak mampu menyelamatkan orang yang telah menggantikan jiwa kerasnya dengan cinta. Patrem itu telah merenggut nyawa Putri Dyah Pitaloka.
Hati Arya Bima melemah menghadapi kenyataan bahwa Dyah Pitaloka sudah tiada. Ia pasrah dengan keputusan Raja Majapahit dengan tindakan gegabahnya yang mengakibatkan peperangan dengan kerajaan Sunda itu. Ia menyesal telah mengakibatkan kematian Dyah Pitaloka.
Di dalam gua itu ia menyesali diri. Dulu jiwanya yang garang tak terkalahkan oleh apapun kini layu oleh keindahan yang dimiliki seorang wanita. Wanita yang dulu pernah dianggapnya sebagai penghalang karirnya dalam memperjuangkan kerajaan, kini menyentuh hatinya dan menghancurkannya dengan kematian.
Ia berkali-kali menyebut nama Dyah Pitaloka untuk mengobati rasa penyesalannya. Patrem yang dulu merenggut nyawa orang yang dicintainya itu kini ia genggam erat.
Suara tetesan air di dalam gua tak mampu ia dengar. Ia hanya mendengar bisikannya sendiri, menyebut nama Dyah Pitaloka.
***
1992
Pramudya menemui Eyang Suryo. Ia menceritakan kejadian yang menimpa Sukmasari.
“Sudah kuduga. Sukmasari akan mengalaminya. Tempat itu telah mengikat jiwa Sukmasari.” tutur Eyang Suryo seolah ia telah menunggu-nunggu sekian lama.
“Air terjun itu, Eyang?” Pramudya mengingat terakhir pergi dengan Sukmasari.
“Madakaripura.aku juga telah lama tidak mengunjunginya. Tempat itu menyimpan banyak kenangan Patih Arya Bima. Ia mengenang kehidupannya di tempat itu. Termasuk Putri Dyah Pitaloka yang mengantarnya ke Madakaripura.”
“Tetapi kenapa harus Sukmasari dan apa hubungannya dengan peristiwa itu, Eyang?” tanya Pramudya penasaran.
“Sukmasari mungkin memiliki kemiripan dengan Putri Dyah Pitaloka. Wajahnya yang ayu dan tutur sapanya yang lembut membangkitkan kenangan akan Putri Dyah Pitaloka di tempat itu. Tambah lagi darah Sukmasari yang masih perawan.” Jelas Eyang Suryo.
“Ini kembalikan ke tempatnya. Ikatlah patrem ini dengan potongan rambut Sukmasari.” Eyang Suryo mengambil Patrem dari punggungnya. Benda itu hampir menyatu dengan tulang rusuknya, hanya terhalang kulit yang sangat keriput. Pegangannya itu tak pernah terpisah dari tubuhnya. Bila Eyang Suryo menjauhkan dari tubuhnya maka ia akan marasa sakit yang luar biasa.
“Kemana harus aku kembalikan, Eyang?”
“Kembalikan ke tempat pertapaan Patih Arya Bima di balik air terjun Madakaripura. Dulu patrem ini beliau tinggalkan di dalam gua tepat di atas pertapaannya.”
Pramudya memandang heran.
“Patrem ini dibawa oleh Dwupati, seorang pengikut setia Patih Arya Bima yang turut bertapa di tempat itu. Dulu patrem inilah yang digunakan Putri Dyah Pitaloka untuk menghabisi nyawanya. Ia bunuh diri karena kebenciannya kepada Majapahit yang telah merenggut segalanya dari kehidupannya.
“Eyang ini keturunan terakhir dari Dwupati. Patrem ini memilki kekuatan mengikat sukma. Sebelum diserahkan kepada orang lain, orang yang memegangnya tidak akan bisa membebaskan jiwa raganya.”
Eyang Suryo menjelaskan asal usul patrem itu, seolah tahu arti tatapan mata Pramudya.
Tanpa pikir panjang pramudya segera melaksanakan petunjuk dari Eyang Suryo. Beliau juga berpesan untuk menjaga Sukmasari selama-lamanya. Jiwa sukmasari akan terbebas setelah ia mengembalikan patrem itu ke tempat asalnya. Hanya seorang yang berjiwa ksatria yang mampu mencapai tempat itu, orang yang berhati tulus dan suci yang mampu mengemban tugas berat itu.
Memang berat jalan yang harus ditempuh Pramudya. Ia kembali menapaki gunung Bromo, menyusuri tempat di mana Pramudya dan Sukmasari pernah menikmati kemesraan berdua. Pramudya tidak pernah tahu kalau di balik air terjun itu terdapat gua. Ia masuk ke pusaran air terjun dan tertelan derasnya kumpulan air itu.
Wira menunggunya di bawah air terjun. Wira tidak yakin Pramudya akan bisa kembali hidup-hidup. Jantungnya berpacu dengan kencangnnya deburan air terjun yang jatuh dari atas. Perasaannya waswas. Ia tak tahan menunggu pram lama-lama. Tempat itu hampir dirubung gelap.
“Pramudya…Pramudya!” teriak Wira khawatir.
Suaranya tertelah air terjun yang terus menggerojok. Putus asa pun mewarnai mukanya, sudah tak sabar ia menunggu sahabatnya.
Pramudya berusaha sekuat mungkin untuk mencapai tempat tersembunyi itu. Jantungnya terus berdebar mengiringi pijakan kakinya dan gapaian tangannya untuk menemukan pintu gua. Mulut gua itu tampak kecil. Berlumut dan gelap. Dalam hatinya kenapa patih itu harus bertapa di tempat itu. Setelah memasuki gua itu barulah Pramudya terkagum-kagum. Gua itu begitu luas. Ada semacam danau kecil di dalamnya. Ada tetesan air dari bebatuan di atasnya. Lebih kagum lagi ketika ia melihat sebuah batu putih berkilau, mungkin itu yang Eyang Suryo maksud tempat pertapaan sang patih.
Segera ia lakukan apa yang diperintahkan Eyang Suryo kepadanya. Dengan jantung berdebar pula ia meninggalkan tempat itu.
Pramudya tiba-tiba muncul dari pusaran air dan berenang menuju tepi. Wira yang sedari tadi mondar-mandir menunggu terpana setengah tak percaya, namun hatinya lega dan senang. Tempat itu semakin gelap seiring matahari yang condong ke barat.
Sepanjang jalan pulang, Pramudya terus teringat dengan patrem itu. Patrem yang telah ia ikat dengan beberapa helai rambut kekasihnya itu ia letakkan di atas batu putih berkilau. Sesaat ia tinggalkan patrem itu dan hendak kembali, tapi sewaktu ia menoleh lagi patrem itu telah lenyap, tinggal rambut Sukmasari yang mengurai panjang di atas batu itu.
Madakaripura yang menyimpan banyak kenangan itu ia tinggalkan. Pramudya berharap Sukmasari dapat terlepas dari ikatan magis itu dengan jalan yang ia tempuh. Madakaripura tetap menyisakan misteri sendiri baginya. Misteri yang masih sulit ia percaya.
***
Bersamaan dengan lenyapnya patrem itu, Jiwa Eyang Suryo terbebas dari raganya yang telah berumur lebih dari seabad. Kakek tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tubuhnya tergolek di atas dipan layaknya seonggok tulang belulang yang masih utuh berbentuk manusia. Ia menutup matanya yang telah lelah, waktu yang begitu lama ia tunggu untuk beristirahat.
Sukmasari siuman dari tidur panjangnya. Ia tak sadarkan diri selama dua hari. Malam itu ketika Pramudya kembali ke pondok, Sukmasari pingsan lagi. Kemudian Pramudya mengambil beberapa helai rambut kekasihnya itu dan pergi. Ia pasrahkan sukmasari kepada Ratna, sepupunya.
Kini Sukmasari telah kembali. Jiwanya telah lepas dari ikatan magis madakaripura
Sesampainya di pondok Pramudya dan Wira langsung menjemput Ratna dan Sukmasari. Mereka keluar dari gerbang pondok seolah menghirup kehidupan baru. Lebih-lebih bagi Pramudya dan Sukmasari. Bunga-bunga asmara di hati mereka berdua tetap bermekaran dan akan menjadi awal yang indah untuk memasuki sebuah ikatan perkawinan.
Pepohonan yang menjulang tinggi yang mereka lewati memberikan lambaian dan senyumannya, membisikkan kepada angin untuk tetap setia mengiringi perjalanan mereka untuk kembali.
***