Sabtu, 22 Oktober 2011

Evelyn Olivia

Suara gaduh terdengar dari pintu depan. Olivia terbangun dari tidurnya yang baru sebentar. Suara keras itu masih terdengar. Olivia mengambil penyangga kakinya yang tersandar di ranjang. Langkahnya terseok meraih daun pintu kamar. Papa dan mamanya setengah berlari menuju pintu depan. Suara ketukan pintu semakin melemah. Selang pintu terbuka mereka terbelalak.

“Evelyn!” tangis mama pecah melihat kondisi putrinya yang sangat memprihatinkan.

***

Udara dingin menyesaki kamar depan wisma Qoirunnisa. Olivia lupa menutup jendela. Mungkin badannya lelah seharian berburu buku di bookfair kampus. Adzan mahgrib membangunkannya.

Akhir minggu ini ia bersama rekan-rekan Trustcommunity sibuk mengisi training motivasi yang berlangsung di tiga tempat. Gurat-gurat lelah di wajahnya sering tak dihiraukan. Ia merasa bahagia bisa hadir di tengah-tengah mahasiswa memberikan sedikit pengalamannya. Apalagi ia bisa memberikan motivasi untuk orang lain.

Saat gadis berjilbab biru itu muncul di depan para peserta. Berpuluh pasang mata memperhatikannya. Dalam benak mereka mungkin muncul rasa kasihan, bangga, prihatin, atau semacam perasaan melas lainnya. Tapi tidak demikian dengan Olivia.

Olivia memberi motivasi kepada peserta seperti layaknya seorang trainer yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Kepercayaan diri dan aura ketenangan terpancar dari sorot matanya. Kata-kata yang keluar dari lisannya seakan menghipnotis para pendengarnya. Peserta semakin antusias untuk mendengarkan motivasinya.

Sangatlah layak bila berpuluh-puluh karya lahir dari ketajamannya berimajinasi. Entah cerpen maupun novelnya selalu mampu menyedot perhatian para pecinta fiksi di tanah air.

Dua puluh menit berlalu, applause para peserta mengiringi langkah Olivia kembali ke tempat duduknya.

Setelah session pertama selesai panitia memberi icebreaking. Berbagai macam games mereka mainkan, menambah suasana menjadi ceria dan hidup. Olivia pulang lebih dulu dari rekan-rekan Trustco yang lain. Meta mengantarnya. Ia ingin istirahat sebentar. Nanti ba’da ashar ada halaqoh dengan adik-adik Salsabila.

“Met, bilang sama teman-temanmu, Mbak agak telat datang nanti.”

“Ocre deh, Mbak!” Meta langsung melaju kembali ke acara training.

Olivia memutar instrument Doaku sebagai pengantar tidurnya. Badannya hanya terbolak-balik. Matanya terpejam namun bayangan Evelyn terus melintas meracuni pikirannya. Saudara kembarnya itu sering uring-uringan kalau dirinya pulang ke rumah.

Ia malu. Malu kepada Allah. Ia sering memberi nasehat, bahkan mampu memotivasi orang lain. Akan tetapi Evelyn, seseorang yang sangat disayanginya justru susah untuk diarahkan. Kini ia jarang melihat Evelyn salat jika di rumah, apalagi mengaji. Olivia selalu berusaha menjalin hubungan lewat telepon tetapi Evelyn tetap tidak mau mengangkatnya, sms pun tidak dibalasnya.

Hari Senin ada acara di FSLDK. Itu berarti Olivia belum bisa pulang menemui Evelyn. Pikiran Olivia terus berputar, suara sejuk Hadad Alwi tetap tak mampu membuatnya lelap. Ia membuka laptop dan melihat kembali draf skripsi. Dua minggu lagi ia persiapan untuk ujian.

Olivia tidak mengikuti acara seminar keputrian forum se-yogjakarta itu sampai selesai. Hari kedua ia sudah izin. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan bertemu Evelyn. Kemarin kata papanya, Evelyn mau mendaki bersama teman-teman mapalanya.

Olivia langsung cabut. Tak ada tujuan lain selain bertemu Evelyn. Sampai di rumah papa dan mamanya sudah berangkat. Kedua orang tuanya bekerja di kantor pajak, hingga waktu untuk berkumpul bersama keluargapun agak kurang.

Sebelum Olivia masuk kamarnya ia lihat Evelyn sudah siap-siap dengan ranselnya.

“Lyn, sudah mau berangkat?” tanya Olivia sambil mendekati Evelyn.

Evelyn diam. Olivia sudah terbiasa dengan kebisuannya.

“Papa sering tanya sama kakak. Kenapa Evelyn tak seperti dulu lagi. Evelyn papa dulu periang, penyayang, gadis papa yang ceria. Kenapa Lyn, kenapa Evelyn lupa kalau papa dan mama hanya punya kita.” dada Olivia bergemuruh.

“Kakak ga usah urusi Evelyn. Evelyn punya dunia sendiri, Kakak bersenang-senang saja dengan teman-teman Kakak itu.” balas Evelyn ketus sambil menenteng ransel dan menghilang di balik pintu.

Kini Olivia yang membisu. Hatinya pun tidak berkata apa-apa. Hanya buliran bening membasahi pipinya.

Evelyn sendiri tidak mengerti kenapa ia sekarang jauh dengan kakaknya. Ia merasa bahwa Olivia beruntung selalu mendapat teman banyak. Kakaknya tidak membutuhkannya lagi. Kini setiap pergi selalu ada jilbaber-jilbaber yang menemaninya. Dan bukan Evelyn yang mengantarnya. Sedang ia terkadang harus selisih paham dengan gengnya dan akhirnya sendiri.

Seperti saat ini. Sebenarnya Evelyn butuh dukungan teman, terutama Olivia. Orang yang paling mengerti dirinya. Pacarnya memberi keputusan sepihak mengenai hubungannya yang sudah berjalan enam bulan. Evelyn tak menyangka hubungannya dengan Hans akan berakhir tanpa kata-kata. Ia begitu saja meninggalkan Evelyn.

***

“Helman…, mana si Evelyn itu tak datang-datang.” keluh Sulthon dengan logat bataknya yang kental. Rombongan hampir berangkat tinggal Evelyn yang belum datang.

“Tunggu Evelyn Thon, mungkin dia masih kebelet.” timpal Helman sebelum tancap gas.

“Kenapa tak mencret sekalian Evelyn itu, atau amnesia mendadak dia, dilupakannya aku.” Sulthon menggerutu sendirian.

Sulthon berusaha lagi menghubungi Evelyn via telpon tapi nihil. Ia bingung antara meninggalkan Evelyn atau menjemputnya ke rumah. Pasalnya rumah Evelyn terbilang jauh dan bertolak belakang dengan arah tujuan. Sulthon teringat telpon rumah. Ia minta kepada Virna nomor rumah Evelyn. Pikiran Sulthon agak tenang karena yang ia cari tengah ketemu. Ternyata hasilnya nihil juga, tapi kakanya bilang Evelyn sudah keluar rumah sejak pagi.

Olivia juga segera menghubungi Evelyn tapi handphonenya tidak aktif. Ia pun menunggu Evelyn, namun sampai papa mamanya pulang adik kembarnya itu juga belum menelpon atau pamit akan menginap di mana.

Olivia dan kedua orang tuanya kalut memikirkan Evelyn yang menghilang tanpa kabar. Semua teman-temannya sudah dihubungi, tetapi tidak ada yang tahu di mana Evelyn berada. Olivia semakin merasa bersalah. Memang dirinya terlalu sibuk. Apalagi kalau sudah di kampus, begitu banyak agenda yang harus dijalankan. Belum lagi trilogy yang kini tengah dirampungkannya begitu menyita waktunya hingga tidak ada perhatian lagi untuk Evelyn.

Usai mahgrib Olivia tiada henti-hentinya tilawah. Ia terus berdoa untuk keselamatan adiknya dan memohon kepada Allah agar Evelyn cepat kembali.

***

“Hans brengsek, setan. Masuk neraka kamu. Brengsek!”

Evelyn lepas kendali. Sepanjang jalan ia mengumpat dan menghujani Hans dengan makian. Ia tak sanggup menahan buncahan kekecewaan yang mendalam. Ia menumpahkan segala rasa kecewa, luka akan cinta, perih hatinya, dan impiannya yang hancur.

Ia kira Hans bisa memberi kebahagiaan untuknya. Dulu Evelyn berjanji kepada dirinya sendiri bahwa hubungannya dengan Hans yang akan dipertahankannya, tidak seperti hubungannya dengan kekasih-kekasihnya yang lalu. Tapi langkahnya telah salah. Hans sudah mengambil segalanya malam itu dan kini ia menghilang tanpa bekas.

Evelyn berjalan tanpa arah. Ia hanya menurut kaki yang membawanya melangkah. Pohon-pohon jati yang bugil tidak lagi menampakkan kesegaran. Kadang Evelyn mematahkan ranting kering yang ia lintasi. Sorot matanya seakan ingin menerkam dan memangsa mantan kekasihnya itu.

Entah berapa jauh ia berjalan, semakin lemah langkahnya. Dari kejauhan ia melihat gubuk tampak kosong tanpa penghuni. Evelyn menghampiri tempat itu, tapi baru sampai di depan gubuk dirinya limbung tak sadarkan diri.

Setelah sadar ia dikejutkan dengan seorang lelaki tua bercambang. Evelyn mendapati dirinya sudah berada di atas dipan kayu yang juga tua. Orang tua itu menyodorkan minum kepada gadis yang ditemukan di depan gubuknya siang tadi.

Senja condong ke barat. Aroma malam kian menyelimuti hutan. Lelaki renta itu meminta Evelyn untuk tinggal, terlalu gelap dan bahaya bila harus pulang malam-malam. Evelyn mengiyakan. Hatinya masih perih. Dipendamnya dalam dada. Ia simpan rapat-rapat.

Evelyn terjaga dari tidurnya. Gubuk itu tanpa cahaya. Sama pekatnya dengan hutan di luar. Masih terngiang kata-kata pak tua tadi, mengenai keluarga yang menyayanginya. Benar. Pasti papa dan mamanya bingung mencari dirinya. Tanpa pikir panjang Evelyn keluar dari gubuk dan berjalan dalam gelap.

Evelyn tak peduli dengan ranting-ranting yang melukai wajahnya, akar-akar besar yang menghalangi jalannya. Ia terus berjalan. Ia ingat papa, ingat mama, ingat Olivia. Seseorang yang selalu menjadi temannya semenjak dalam kandungan. Hidup dari plasenta yang sama. Bernapas dalam rahim yang sama pula.

Hampir dua jam ia menemukan jalan keluar dari hutan yang gelap itu. Ia menyusuri jalan setapak di belakang perumahan. Ia terus berjalan menuju rumahnya. Tubuhnya hampir pingsan lagi, tapi jiwanya ingin segera memeluk kedua orang tua dan kakaknya. Ia sudah merusak kepercayaan yang selama ini diberikan kepadanya. Ia tak bisa menjaga dirinya. Entah apa yang akan ia katakan kepada mereka.

Ketiga orang terkasihnya itu terus membayang. Langkahnya berat menuju rumah. Hampir tidak kuasa ia kembali. Namun batin yang menuntunnya pulang.

Evelyn mengetuk pintu. Rintihannya hanya mampu ia dengar sendiri.

“Papa… Mama… Kak Olive…, maafkan Evelyn.”

Terbayang dalam benaknya Hans yang sudah menghancurkan hidupnya. Kepalanya memanas. Ia gedor pintu semakin keras. Dalam hatinya ia kembali menyumpahi mantannya itu. Lama-lama ia tak kuasa menahan segala beban dan ia pun ambruk.

Langit di atas sana nampak tak bersahabat. Memayungi malam yang pekat tanpa bulan, tanpa bintang.

***

Identitas Penulis

Azwan Nurkholis

Universitas Negeri Yogyakarta

Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi

Pendidikan Sejarah

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes